MEMBANTAH ISU TSUNAMI
Dimuat dalam website BMKG 25/02/2014
Sebagai penutup, pemahaman yang benar tentang
karakter bencana diharapkan dapat mengalahkan provokasi negatif di masa
mendatang. Penyampaian informasi yang akurat dan cepat sangat menentukan langkah-langkah
tepat mitigasi bencana.
Terima kasih atas dimuat tulisan ini dalam:
http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Lain_Lain/Artikel/MEMBANTAH_ISU_TSUNAMI.bmkg
Mengenali permasalahan adalah kunci jawaban untuk
mengatasinya. Kekurangpahaman terhadap fenomena alam, kerap mengakibatkan
keresahan. Seperti isu tsunami yang mengiringi Banjir Manado, Surut Pantai
Banten dan Gempa Kebumen (Detik.com, Liputan6.com, dan Suara Merdeka.com). Sayangnya
banyak warga yang terpengaruh sehingga menambah kekacauan. Oleh karenanya
diperlukan pemahaman komprehensif membantah isu-isu tsunami tersebut.
Bencana Banjir Manado, 16 Januari 2014, jelas tidak
ada kaitannya dengan gempa apalagi tsunami. Hal ini akibat derasnya curah hujan
sebagai efek siklon tropis (Kompas.com). Peta BNPB memperlihatkan genangan banjir pada sebagian daerah Manado, Pineleng, Airamadi dan Minahasa Selatan. Isu tsunami mungkin berdasarkan dugaan air laut yang
naik melalui muara sungai di wilayah Manado. Meningkatnya endapan alluvium
menyebabkan meluapnya air sungai ke daerah pedataran.
Informasi tentang Surut Pantai Banten, 4 Februari 2014
telah dilansir secara resmi oleh BMKG
sebagai efek dari pengaruh gaya tarik bulan dan matahari. Akibat surut muka
pantai dalam jarak yang panjang (1 km) maka menimbulkan longsoran. Berdasarkan record seismogram, tidak ditemukan
aktifitas kegempaan sekalipun berskala mikro. Asumsi uplift masih harus diteliti menggunakan sensor sensitif gerakan
tanah GPS. Surut laut akibat tsunami sebenarnya hanya berlangsung kurang dari
30 menit setelah kejadian gempa. Berbeda dengan Surut Pantai Banten yang sampai
berhari-hari.
Dalam sejarahnya
tsunami hanya timbul akibat gempa, gunung api dan kejatuhan meteor sehingga
menyebabkan volume air laut secara vertikal. Gempa
Kebumen, 25 Januari 2014 berlokasi di laut Selatan Jawa Tengah. Rumor
mengatakan “Kenapa tidak terjadi tsunami padahal berlokasi di laut ?” Hal ini dapat terbantahkan dengan magnitudo
gempa yang terlalu rendah M = 6,1 dan
kedalaman terlalu dalam D = 95,1 km
(EMSC).
Magnitudo menggambarkan seberapa besar energi gempa
mampu mengangkat material batuan diatasnya. Besarnya energi gempa sangat
tergantung pada kedalaman pusat gempa. Sekalipun magnitudo besar M > 8, tapi terletak sangat dalam D > 70 km, maka energinya akan
teredam sehingga kurang menggetarkan permukaan. Tetapi magnitudo sedang dan
kedalaman dangkal, maka energi seismik akan terlepas tanpa mengalami atenuasi
signifikan. Goncangan besar di permukaan menjadi tanda-tanda alam untuk
evakuasi. Gempa yang membangkitkan tsunami menghasilkan deformasi dasar laut sebagai
implikasi dari penyusupan (subduksi) lempeng tektonik.
Gempa Kebumen 2014 mempunyai mekanisme sesar oblique (USGS). Pergerakannya cenderung miring hasil perpaduan gerakan sesar naik
dan mendatar. Sesar naik dipengaruhi subduksi Lempeng
Samudera Indo-Australia terhadap lempeng benua Lempeng Benua Eurasia di wilayah Jawa. Adapun gerakan mendatar disebabkan adanya aktifitas seismotektonik sepanjang jalur Cilacap-Semarang-Jepara (baratdaya-timur laut) (Badan Geologi). Perpaduan gerak sesar ini dipengaruhi juga oleh posisi
hiposenter gempa yang lebih dekat ke arah daratan (USGS). Sesar oblique dari Gempa Kebumen 2014 tidak
optimal menghasilkan deformasi vertikal untuk memicu terjadinya tsunami.
DR. Sugeng Pribadi, ST. MDM.
Staf Info Dini Tsunami BMKGTerima kasih atas dimuat tulisan ini dalam:
http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Lain_Lain/Artikel/MEMBANTAH_ISU_TSUNAMI.bmkg
Komentar
Posting Komentar